Tak ada rencana bahwa kita harus berada di sini. Tetapi, kenyataan menghempaskan kita berada di sini. Entah harus menyebut tempat ini hutan belantara atau padang yang luas, tetapi langit cukup terlihat terhampar luas di atas sana pada malam itu. Cerah karena cahaya bulan yang bersinar remang. Bintang? ah, mereka memang selalu muncul di tiap malam di daerah seperti ini, mungkin hanya sebagai penghias langit. Pohon-pohon berkelebatan, mungkin karena dengan daun-daunnya yang rapat, mereka terlihat suram di depan kita. Semuanya cukup jauh dari tempat kita berada. Tak ada cahaya sama sekali di sana. Bulan yang memberikan sinarnya pada kita untuk melihat di malam itu, tak bisa menembus pekatnya gelap di sana. Sedangkan kita, duduk terdiam di sini, di pinggir jalan yang belum jadi. Jalan yang dulunya bagian dari pohon-pohon itu. Sisi kiri kanan kita banyak pohon yang bertumbangan, mungkin hanya untuk mempercantik sisi jalan ini nantinya.
Kita terdampar di sini, di tempat yang sangat asing bagi kita. Kita sering bertemu dengan suasana seperti ini, tetapi semuanya dengan rencana di mana diri ini telah dipersiapkan sebelumnya. Sekarang, naluri alami kita sedang diuji, sampai di mana kita mampu bertahan. Kendaraan yang kita tumpangi tak bisa membuat kita melanjutkan perjalanan. Dari awal perjalanan, kita sangat menikmati jalan-jalan yang dilaluinya. Tetapi, di tengah perjalanan, di tempat yang suram ini siang tadi, tiba-tiba saja ban belakang sebelah kanan kendaraan yang kami tumpangi harus terlepas dari sumbunya. Cuma goncangan kecil yang kita rasakan di dalamnya. Kami tak mau menyebutnya sebagai sebuah kecelakaan. Karena melihat ban itu melaju mendahului badannya, membuat kita terkekeh-kekeh, mengingatkan kita akan sebuah adegan film Warkop yang jadi kenyataan di depan mata kita. Kita yang satu rombongan terpaksa harus membagi tugas, ada yang harus kembali lagi ke kota yang jaraknya puluhan kilometer dari tempat ini untuk mereparasi bagian kendaraan itu dan ada yang harus terjaga di sini, menjaga semua perbekalan yang kami bawa beserta kendaraan badut yang ngambek itu. Cukup menghibur hingga buat kita tak sadar bahwa ada sesuatu yang mencekam sedang menanti kita selanjutnya.
Malam itu, kita tidur beratapkan langit. Menatap ke atas, menikmati hamparan luas langit itu hingga membuat kita seakan melayang. Semua yang ada di sekitar kita tak cukup untuk mempersempit pandangan kita tentang langit di malam itu. Ini bukan khayalan tentang suasana di gurun pasir. Entah bagaimana lagi membahasakannya. Kami cuma mencoba meyakinkan diri ini, bahwa kita tak sendiri di sini. Cukuplah kita bersikap waspada terhadap sekitar kita. Cerita tentang keberadaan binatang buas, seperti babi hutan dan beruang di daratan ini atau cerita mistis tentang jembatan yang kita lalui sebelumnya yang meminta tumbal manusia untuk pembangunannya harus membuat kita tetap siaga. Percaya atau tidak, kita harus tetap percaya, karena daratan ini bukan tempat bermain kita sebelumnya. Kita hanya mencoba beradaptasi dengannya.
Pandanganku terpaku pada seorang kawan yang murung dan terdiam. Tak seperti biasanya, malam itu ia terdiam menatap kilatan api unggun di depannya. Kata-kata yang selalu meluncur dari mulutnya, biasanya mampu hempaskan sunyi di tengah keterdiaman di sekitarnya. Tak terlihat nasehat dari gerak geriknya malam itu. Geraknya selalu membisikkan bahwa tubuhmu harus bergerak, halau dingin yang mulai menusuk tulang, usir lamunan yang mulai menguasai pikiran. Semua itu bisa membuat kita lupa akan kepahitan yang kita rasakan, lupa pada hantu yang bisa membuat kita kesurupan di tempat seperti ini. Dan ketika aku mencoba memberanikan diri menanyakan tentang apa yang terjadi, ia hanya menunjukkan salah satu pesan yang masuk di telepon genggamnya sebelum kami berangkat mengarungi perjalanan ini.
Lalu, sejauh batas ia menabung langkah.
Mencari... Ia mencari arti di hamparan batu-batu kering kebencian.
"Kesucian itu ada di sini" ucapnya lirih.
Lalu siang dan malamnya terlantar di sudut-sudut hati yang hampir mati.
Sesekali desir napasnya terselip untaian doa yang rela...
"Tuhan, sekiranya Engkau selalu bersamaku..."
***Anonim***
Entah dari siapa pengirimnya. Apakah ada hubungannya dengan kejadian yang kita alami hingga kita bisa seperti ini. Entahlah... Aku cuma terpukau dengan untaian kalimatnya. Beberapa kali aku baca, tak mampu aku selami maknanya. Tak ayal, pesan misterius itu malah ikut membuatku terdiam dan tak tahu harus berkata apa. Aku mencoba menebak bahwa ia sedang mengkaitkan kejadian yang kita alami dengan pesan itu. Aku sadar bahwa pikiran kita sedang dipermainkan. Tak seharusnya kita percaya pada sebuah takhayul. Kenyataan adalah kenyataan, dan faktor kebetulan itu terkadang hadir di dalam kenyataan itu. Faktor itu kadang membuat kita merasa beruntung, dan kadang membuat kita merasa rugi hingga berujung pada penyesalan. Tempat seperti ini bukan tempat yang tepat untuk mencari jawaban dari pertanyaan, yang mana yang harus kita yakini kebenarannya. Aku pun berpikir bahwa meresponnya dengan serius bukanlah cara yang tepat dalam menanggapinya. Sesaat kemudian akupun mencoba menghilangkan sepi dengan berucap sinis padanya, "Sudut-sudut hati itu seperti apa yaa?? Kesucian itu seperti apa yaa?? Kebencian pada batu-batu kering itu seperti apa yaa?? Langkah yang ditabung bagaimana cara menghitungnya ya?? Ada bunganya ga yaa?? Berapa persen?? Kalau langkah didepositokan bisa ga ya?? Kena pengaruh inflasi ga yaa??" Sekelumit pernyataan eh pertanyaan sarkastis meluncur dari mulutku. Satu kawan merespon dengan jawaban konyolnya, kawan lainnya merespon dengan tawanya, dan yang terdiam cuma kendaraan pincang di samping kita. Dan syukur semua buat suasana menjadi hidup kembali, tak lagi sepi. Banyolan demi banyolan pun keluar meramaikan malam itu mengalahkan suara dendangan binatang malam.
Nyala api unggun semakin lama semakin meredup. Ranting-ranting dan potongan kayu yang kami kumpulkan perlahan-lahan mulai habis untuk membuat api unggun itu terang kembali. Hangatnya malam itu oleh api unggun itu semacam membuat kita lupa akan keberadaan kita di daerah antah berantah itu. Tertawa, menertawai kebodohan, berandai-andai kalo ini itu tidak kita lakukan tentunya tak akan pernah membuat kita berada di sana. Konyol tapi tak sia-sia, karena syukur tak ada babi hutan yang melintas, tak ada beruang yang berburu mangsa, dan tak ada santet yang beterbangan mencari tumbal. Yang ada cuma tawa, tawa dan tawa. Tak terasa malam kian larut dan kita harus terlelap. Jam di pergelangan tangan menunjukkan bahwa 4 jam lagi matahari akan menyingsing di ufuk timur sana. Empat jam lagi kita harus menanti kabar dari kembalinya kawan kita yang sedang berada di kota, membetulkan bagian kendaraan yang rusak. Tertawa memang menguras energi di malam itu dalam sebuah keakraban. Sebuah pelajaran bahwa kalau mau menghemat energi lebih baik tak usah tertawa.
0 komentar:
Posting Komentar